MAHKAMAH
INTERNATIONAL
Mahkamah International (bahasa
Inggris : International Court of Justice) berkedudukan di Den Haag,
Belanda. Mahkamah merupakan badan kehakiman yang terpenting dalam PBB. Dewan
keamanan dapat menyerahkan suatu sengketa hukum kepada mahkamah, majelis umum
dan dewan keamanan dapat memohon kepada mahkamah nasehat atas persoalan hukum
apa saja dan organ-organ lain dari PBB serta badan-badan khusus apabila
pendapat wewenang dari majelis umum dapat meminta nasehat mengenai
persoalan-persoalan hukum dalam ruang lingkup kegiatan mereka. Majelis umum
telah memberikan wewenang ini kepada dewan ekonomi dan sosial, dewan
perwakilan, panitia interim dan majelis umum dan beberapa badan-badan antar
pemerintah.
·
Keanggotaan
Mahkamah terdiri dari 15 hakim, yang dikenal sebagai
“anggota” mahkamah. Mereka dipilih oleh majelis umum dan dewan keamanan yang
mengadakan pemungutan suara secara terpisah. Hakim-hakim dipilih atas dasar
kecakapan mereka, bukan atas dasar kebangsaan akan tetapi diusahakan untuk menjamin
bahwa sistem-sistem hukum yang terpenting di dunia diwakili oleh mahkamah.
Tidak ada 2 hakim yang menjadi warga negara dari negara yang sama. Hakim-hakim
memegang jabatan selama waktu sembilan tahun dan dapat dipilih kembali mereka
tidak dapat menduduki jabatan lain selama masa jabatan mereka. Semua
persoalan-persoalan diputuskan menurut suatu kelebihan dari hakim-hakim yang
hadir dan jumlah sembilan merupakan quorumnya. Apabila terjadi seri, maka ketua
mahkamah mempunyai suara yang menentukan.
·
Tugas
Mahkamah Internastional
1.
Mengadili perselisihan-perselisihan atau persengketaan
antar negara-negara anggota PBB yang persoalannya diajukan oleh negara yang
berselisih.
2.
Memberikan pendapat kepada Majelis Umum PBB tentang
penyelesaian sengketa antar negara-negara anggota PBB.
3.
Mendesak DK PBB untuk mengambil tindakan terhadap pihak
yang tidak menghiraukan keputusan Mahkamah International.
·
Peranan
Mahkamah International dalam Menyelesaikan Sengketa International
1.
Wewenang Mahkamah
Wewenang mahkamah diatur oleh Bab II statuta yang khusus
mengenai wewenang mahkaman dengan ruang lingkup masalah-masalah mengenai
sengketa. Untuk mempelajari wewenang mahkamah dapat dilihat dari wewenang
rational personal yaitu siapa-siapa saja yang dapat mengajukan perkara ke
mahmah dari wewenang rational material yaitu mengenai jenis
sengketa-sengketa yang dapat diajukan.
1.
Akses ke Mahkamah hanya Terbuka untuk Negara (Wewenang
Rational Personal)
Pasal 34 ayat 1 statuta menyatakan, hanya negara-negara yang boleh
menjadi pihak dalam perkara-perkara di muka mahkamah. Maksud isi pasal
tersebut, individu-individu dan organisasi-organisasi international tidak dapat
menjadi pihak dari suatu sengketa di muka mahkamah.
Pada prinsipnya mahkamah hanya terbuka bagi negara-negara
anggota dari statuta. Negara-negara anggota statuta yaitu semua anggota PBB
yang banyaknya 192 negara.
Dalam pasal pasal 93 ayat 2 piagam menyatakan bahwa negara
yang bukan anggotra PBB dapat menjadi pihak pada statuta mahkamah, dengan
syarat-syarat yang akan ditentukan untuk tiap-tiap permohonan oleh majelis Umum
atas rekomendasi Dewan Kemanan.
Keputusan mahkamah adalah keputusan organ hukum tertinggi di
dunia dan penolakan suatu negara terhadap keputusan lembaga tersebut akan dapat
merusak citranya dalam pergaulan antar bangsa, apalagi karena sebelumnya
negara-negara tersebut telah menerima wewenang wajib. Oleh karena itu, dengan
mengadakan pengecualian terhadap ketentuan tersebut, juga diberikan kemungkinan
kepada negara-negara lain yang bukan pihak pada statuta untuk dapat mengajukan
suatu perkara ke mahkamah (Pasal 35 ayat 2 statuta). Dalam hal ini, Dewan
keamanan yang menentukan syarat-syaratnya.
2.
Kedudukan Individu
Kalian pasti memahami apabila seseorang melakukan kasus
tindak pidana atau perdata tentu akan ada masalah dengan para penegak hukum.
Kedudukan seseorang atau individu di muka Mahkamah International bila melakukan
suatu kesalahan hukum.
Seseorang yang dinyatakan bersalah berdasarkan hukum
international, maka mahkamah international berkewajiban untuk menuntutnya.
Adapun bila ada penolakan akses terhadap individu-individu. Namun melalui
mekanisme perlindungan diplomatik di bidang pertanggungjawaban international,
negara-negara dapat mengambil alih dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan
warga negara di depan mahkamah. Banyak perkara yang diperiksa mahkamah yang
berasal dari pelaksanaan perlindungan diplomatik negara terhadap warga
negaranya. Misalnya perkara Ambotielos, International Court Justice (ICJ)
1952-1953, perkara International ICJ 1957-1958.
3.
Kedudukan Organisasi International
Pasal 34 ayat 1 statuta hanya membolehkan negara-negara untuk
mengerjakan suatu sengketa ke mahkamah. Namun, dalam ayat 2 dan 3 memberikan
kemungkinan kerja sama antar organisasi-organisasi international dan mahkamah.
Mahkamah juga menentukan syarat-syarat kerja sama dengan organisasi-organisasi
international.
Langkah pertama yang dilakukan makamah adalah meminta kepada
organisasi-organisasi international keterangan-keterangan mengenai soal-soal
yang diperiksanya, organisasi-organisasi international tersebut dengan
inisiatif sendiri mengirim keterangan yang diperlukan ke mahkamah. Selanjutnya,
bila dalam pemeriksaan suatu perkara, mahkamah terpaksa menginterpretasikan
piagam konstitutif suatu organisasi international atau suatu konvensi yang
dibuat atas dasar piagam tersebut, maka panitera mahkamah berhak meminta
keterangan kepada organisasi international tadi dan mengirimkannya secara
tertulis ke mahkamah.
4.
Wewenang Rational Material
Pasal 36 ayat 1 statuta dengan jelas menyatakan bahwa
wewenang mahkamah meliputi semua perkara yang diajukan pihak-pihak yang
bersengketa kepadanya dan semua hal, terutama yang terdapat dalam piagam PBB
atau dalam perjanjian-perjanjian dan konvensi-konvensi yang berlaku. Meskipun
Pasal 36 ayat 1 ini tidak mengadakan pemberdayaan antar sengketa hukum dan
politik yang boleh dibawa ke mahkamah, dalam prakteknya mahkamah selalu menolak
memeriksa perkara-perkara yang tidak bersifat hukum.
Selanjutnya, wewenang mahkamah pada prinsipnya bersifat
fakultatif. Ini berarti bahwa bila terjadi suatu sengketa antar dua negara,
intervensi mahkamah baru dapat terjadi bila negara-negara yang bersengketa
dengan persetujuan bersama membawa perkara mereka ke mahkamah. Tanpa adanya
persetujuan antar pihak-pihak yang bersengketa, wewenang mahkamah tidak akan
berlaku terhadap sengketa tersebut.
5.
Kompromi
Dalam kerangka wewenang fakultatif, sengketa diajukan ke
mahkamah melalui suatu kompromi. Jadi, kesepakatan negara-negara yang
bersengketa dituangkan dalam suatu kompromi. Di samping itu, perlu dicatat
bahwa kompromi di sini tidak lagi mempunyai arti yang sama dengan kompromi
arbitrasi. Kompromi untuk mengajukan sengketa ke mahkamah tidak perlu lagi
berisi kesepakatan mengenai komposisi tribunal, wewenang dan prosedur mahkamah.
Dalam penyelesaian hukum secara fakultatif ini, kompromi hanya berisikan
persetujuan pihak-pihak yang bersengketa untukmengajukan perkara mereka ke
mahkamah, dan penentuan hal yang dipersengketakan serta pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan ke mahkamah.
6.
Wewenang Wajib (Compulsory Jurisdication)
Wewenang wajib dari mahkamah hanya dapat terjadi bila
negara-negara sebelumnya dalam suatu persetujuan, menerima wewenang tersebut.
1.
Wewenang wajib berdasarkan ketentuan konvensional
Seperti juga halnya dengan arbitrasi, dalam prakteknya
wewenang wajib ini dapat diterima dalam bentuk perjanjian-perjanjian umum.
Klausal khusus ini terdapat dalam suatu perjanjian sebagai tambahan dari
perjanjian itu sendiri. Klausul ini bertujuan menyelesaikan sengketa-sengketa
yang mungkin lahir di masa yang akan datang mengenai pelaksanaan dan
interpretasi perjanjian tersebut di muka mahkamah.
Klausul-klausul khusus ini dijumpai dalam perjanjian
perdamaian tahun 1919, perjanjian-perjanjian wilayah mandat dan perjanjian-perjanjian
mengenai monoritas. Sesudah Perang Dunia II, klausul-klausul yang demikian juga
terdapat dalam piagam-piagam konstitutif organisasi-organisasi international.
Klausul-klausul tersebut juga terdapat dalam konvensi-konvensi kodifikasi yang
baru. Misalnya konvensi-konvensi mengenai hubungan diplomatik tahun 1961 dan
mengenai hukum perjanjian tahun 1969.
Disamping itu, ada pula perjanjian-perjanjian umum bilateral
maupun multilateral yaitu perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh negara-negara
khusus bertujuan untuk menyelesaikan secara damai sengketra-sengketa hukum
mereka di masa datang dan di muka mahkamah. Perlu diingat bahwa keharusan untuk
menerima wewenang wajib mahkamah hanya terbatas pada sengketa-sengketa hukum.
2.
Klausul opsional
Pasal 36 ayat 2 statuta mengatakan bahwa negara-negara pihak
statuta, dapat setiap saat menyatakan untuk menerima wewenang wajib mahkamah
dan tanpa persetujuan khusus dalam hubungannya dengan negara lain yang menerima
kewajiban yang sama, dalam sengketa hukum mengenai :
1.
Penafsiran suatu perjanjian
2.
Setiap persoalan hukum internasional
3.
Adanya suatu fakta yang bila terbukti akan merupakan
pelanggaran terhadap kewajiban international.
4.
Jenis atau besarnya ganti rugi yang harus dilaksanakan
karena pelanggaran dari suatu kewajiban international
7.
Persyaratan
Ada banyak negara yang menerima klausul operasional tersebut
dengan persyaratan. Misalnya, mengenai lamanya masa penerimaan klausul yang
dibatasi sampai lima tahun. Pada tahun 1946, Amerika Serikat menerima klausul
opsional dengan persyaratan penting, yaitu menolak diajukan sengketa yang
berada di bawah domestic jurisdiction atau wewenang nasional. Mengenai
sengketa apa saja yang berada di bawah wewenang nasional itu ditentukan sendiri
oleh Amerika Serikat sesuai dengan Amandemen Conally.
Banyak negara mengeritik Amendemen Conally tersebut
yang menyebabkan negara tidak mau membawa perkaranya ke mahkamah sehingga
mengurangi peranan peradilan dunia tersebut. Persyaratan otomatis ini juga
bertentangan dengan Pasal 36 ayat 6 statuta, yang mengatakan. “kalau terjadi
perbedaan pendapat apakah suatu persoalan berada di bawah wewenang mahkamah
atau tidak, mahkamah sendirilah yang akan memutuskannya. Amerika Serikat
memperkecil lagi ruang lingkup penerimaannya atau klausul tersebut dengan
menolak yuridiksi mahkamah mengenai sengketa-sengketa yang berasal dari
perjanjian-perjanjian multilateral.
Pada tanggal 18 Februari 1947, Perancis juga menerima klausul
opsional, tetapi dengan memasukkan persyaratan dari wewenang nasional, sama seperti
apa yang dinyatakan Amerika Serikat yaitu persyaratan otomatis. Akan tetapi,
tahun 1966 Perancis mengubah persyaratan otomatis itu dan selanjutnya
mengajukan persyaratan terhadap sengketa-sengketa sebagai berikut :
1.
Terhadap sengketa-sengketa bahwa pihak-pihak yang
terlibat setuju untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai.
2.
Terhadap sengketa-sengketa yang menurut hukum
internasional, khusus berada di bawah wewenang nasional.
3.
Terhadap sengketa-sengketa yang lahir dari suatu
peperangan atau konflik internasional yang mempunyai pengaruh langsung terhadap
keamanan nasional.
4.
Terhadap sengketa-sengketa dengan suatu negara, yang
diwaktu lahirnya sengketa tersebut belum lagi menerima wewenang wajib mahkamah.
Akhirnya, Perancis menarik diri dari klausul opsional
tersebut pada tanggal 10 Januari 1947, sebagai akibat diajukannya oleh Selandia
Baru dan Austraia masalah uji coba nuklir Perancis di Samudra Pasifik ke
Mahkamah. Jadi, sebagaimana dilihat persyaratan-persyaratan tersebut sangat
membatasi wewenang mahkamah.
2.
Pendapat-Pendapat yang Tidak Mengikat (Advisory
Opinion)
Mahkamah mempunyai fungsi konsultatif, yaitu memberikan
pendapat-pendapat yang tidak mengikat atau disebut advisori opinion. Hal
ini ditulis dalam Pasal 96 ayat 1 Piagam, sedangkan statuta dan aturan prosedur
mahkamah yang menetapkan syarat-syarat pelaksanaan tersebut terdapat dalam Bab
IV Statusta.
1.
Natur Yuridik Pendapat Hukum (Advisori Opinion)
2.
Permintaan Pendapat Mahkamah
Pasal 96 Piagam dan 65 Statusta menyatakan bahwa mahkamah
dapat memberikan pendapat mengenai semua persoalan hukum. Berbeda dengan
mahkamah yang dulu, mahkamah sekarang dapat diminta pendapatnya untuk semua
persoalan hukum, baik yang kongkrit maupun yang abstrak.
1.
Badan yang dapat meminta pendapat mahkamah
Kebalikan dari prosesur wajib, prosedur konsultatif hanya
terbuka bagi organisasi-organisasi internasional dan bukan bagi
negara-negara.menurut pasal 96 ayat 1 Piagam, Majelis Umum dan Dewan Keamanan
PBB dapat meminta advisory opinion mengenai masalah hukum ke mahkamah.
Selanjutnya menurut ayat 2 pasal tersebut, hak untuk meminta pendapat mahkamah
ini juga dapat diberikan kepada organisasi-organisasi lain PBB dan badan-badan
khusus, dengan syarat bahwa semuanya harus mendapat otorisasi terlebih dahulu
dari Majelis Umum.
2.
Pemberian pendapat oleh Mahkamah
Pasal 96 Piagam dan pasal 65 Statuta kurang jelas mengenai
pemberian pendapat oleh mahkamah. Secara teoritis mahkamah tidak diwajibkan
untuk menjawab. Namun dalam prakteknya mahkamah tidak pernah lalai dalam
melaksanakan tugasnya. Bahkan mahkamah menganggap bahwa sebagai organ hukum
PBB, kewajibannya untuk memberikan pendapat-pendapat kalau diminta, untuk
membantu lancarnya tugas PBB.
Sebaliknya, mahkamah dapat menolak permintaan pendapat kalau
dianggap terdapat ketidaknormalan dalam permintaan tersebutr. Mahkamah
memeriksa apabila pertanyaan yang diajukan suatu organisasi international
betul-betul berada dibawah wewenang khusus. Juga dilihat dari prakteknya mahkamah
menolak memberikan pendapat terhadap soal-soal politik atau soal-soal yang
berada di bawah wewenang nasional suatu negara.
Mengenai kegiatan mahkamah, dari tahun 1922-1940, mahkamah
tetap internasional telah mengeluarkan 31 keputusan, 27 advisory opinion dan
5 ordonasi. Dapat disimpulkan bahwa kegiatan-kegiatan mahkamah tetap ini
tidaklah mengecewakan. Sedangkan tentang mahkamah internasional yang sekarang
dari tahun 1946-1993 telah memutuskan 44 perkara, dan telah memberikan 21
pendapat (advisory opinion).
·
Keputusan
Mahkamah Internasional dalam Menyelesaikan Sengketa Internasional
Keputusan Mahkamah diambil dengan suara terbanyak atau
mayoritas dari hakim-hakim yang hadir. Bila dalam proses pengambilan keputusan
seimbang, maka seara ketua atau wakilnya yang akan menentukan. Misalnya,
keputusan Mahkamah tanggal 7 September 1927 dalam masalah Lotus antara Prancis
dan Turki mengenai tabrakan kapal di laut lepas dan keputusan Mahkamah tanggal
18 Juli 1966 mengenai peristiwa Afrika Barat Daya tersebut. Keputusan hanya
dapat diambil dengan pemberian suara Ketua Mahkamah.
Keputusan Mahkamah terdiri dari 3 bagian, yaitu :
1.
Berisikan komposisi Mahkamah, informasi mengenai
pihak-pihak yang bersengketa serta wakil-wakilnya, analisa mengenai
fakta-fakta, dan argumentasi, bukan pihak-pihak yang bersengketa.
2.
Berisikan penjelasan mengenai motivasi Mahkamah.
Pemberian motivasi keputusan Mahkamah merupakan karena suatu penyelesaian
yuridiksi. Hal ini sering merupakan salah satu unsur dari penyelesaian yang
lebih luas dari sengketa. Oleh karena itu, perlu dijaga sensibilitas
pihak-pihak yang bersengketa.
3.
Berita dispositif, ini berisikan keputusan
Mahkama yang mengikat negara-negara yang bersengketa.
Pasal 57 statuta menjelaskan tentang pendapat terpisah ialah
bila suatu keputusan tidak mewaili seluruh atau hanya sebagian dari pendapat
bulat para hakim, maka hakim-hakim yang lain berhak memberikan pendapatnya
secara terpisah. Pendapat terpisah disebut dissenting opinion, maksudnya
adalah pendapat seorang hakim yang tidak menyetujui suatu keputusan dan
menyatakan keberatannya terhadap motif-motif yang diberikan dalam keputusan
tersebut. Dengan kata lain, pendapat terpisah adalah pendapat hakim yang tidak
setuju dengan keputusan yang diambil oleh kebanyakan hakim.
Pasal 13 Pakta Liga Bangsa-Bangsa telah memulai usaha ke arah
pelaksanaan suatu keputusan dengan menyatakan, bila suatu keputusan peradilan
tidak dilaksanakan, maka dewan dapat mengusulkan tindakan-tindakan yang akan
menjamin pelaksanaan keputusan tersebut. Piagam PBB dalam Pasal 94 menjelaskan
:
1.
Tiap-tiap negara anggota PBB harus melaksanakan
keputusan Mahkamah Internasional dalam sengketa apabila dia merupakan pihak.
2.
Bila negara pihak suatu sengketa tidak melaksanakan
kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh mahkamah kepadanya, negara pihak
lainnya dapat mengajukan persoalannya kepada Dewan Kemanan dan dewan, kalau
perlu dapat membuat rekomendasi-rekomendasi atau memutuskan tindakan-tindakan
yang akan diambil supaya keputusan tersebut dilaksanakan.
Sebagai warga negara yang baik, tentu kita harus mendukung
setiap keputusan Mahkamah Internasional. Bila keputusan mahkamah tersebut,
telah melalui suatu proses dan memenuhi persyaratan-persyaratan hukum, serta
telah diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa karena memiliki nilai-nilai
kebenaran dan keadilan demi suatu perdamaian.
·
Prosedur
Penyelesaian Sengketa Internasional Melalui Mahkamah Internasional
Mengenai ketentuan-ketentuan prosedural dalam kegiatan
mahkamah berada dalam kekuasaan negara-negara yang bersengketa.
Ketenttuan-ketentuan sengketa terdapat dalam Bab III statuta. Kemudian dalam
pasal 30 statuta memberikan wewenang kepada Mahkamah untuk membuat tata tertib
dan menyempurnakan Bab III. Jadi, bila statuta merupakan suatu konvensi, maka
aturan prosedur tadi merupakan suatu perbuatan unilateral mahkamah yang juga
mengingat negara-negara yang bersengketa.
Isi ketentuan-ketentuan prosedural di muka mahkamah mempunyai
kesamaan dengan yuridiksi intern suatu negara, yaitu :
1.
Prosedur tertulis dan perdebatan lisan diatur
sedemikian rupa untuk menjamin sepenuhnya masing-masing pihak mengemukakan
pendapatnya.
2.
Sidang-sidang mahkamah terbuka untuk umum, sedangkan
sidang-sidang arbitrasi tertutup. Tentu saja rapat hakim-hakim mahkamah
diadakan dalam sidang tertutup.
Pasal 24 statuta, menyebutkan bahwa mahkamah dari waktu ke
waktu dapat membentuk satu atau beberapa kamar yang terdiri dari 3 hakim atau
lebih untuk memeriksa kasus-kasus seperti perburuan atau masalah-masalah yang
berkaitan dengan transit dan komunikasi. Kemungkinan ini telah digunakan
beberapa kali oleh mahkamah seperti pembentukan kamar dengan 5 hakim untuk
menetapkan tapal batas maritim di kawasan teluk Maine antara Amerika Serikat
dan Kanada pada tahun 1982, antara Burkina Faso dan Mali juga mengenai sengketa
tapal batas pada tahun 1985, antara AS dengan Itali untuk menyelesaikan
sengketa peritiwa Elsi pada 1987, dan sengketa antara Honduras dan Salvador
pada tahun 1987, dan sengketa antara Honduras dan Salvodor pada tahun 1987.
Prosedur penyelesaian sengketa internasional melalui mahkamah
internasional adalah sebagai berikut :
1.
Wewenang Mahkamah
Mahkamah dapat mengambil tindakan sementara dalam bentuk
ordonansi. Tindakan sementara ialah tindakan yang diambil mahkamah untuk
melindungi hak-hak dan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa sambil menunggu
keputusan dasar atau penyelesaian lainnya yang akan ditentukan mahkamah secara
definitif.
Contoh kasus okupasi kedutaan Besar Amerika Serikat oleh
kelompok militan di Teheran (Iran) pada tanggal 4 November 1979. dalam hal ini
mahkamah menetapkan tindakan-tindakan sementara agar menyerahkan kembali
kedutaan Besar Amerika Serikat dan membebaskan sandra. Juga dalam kasus
sengketa antara Amerika Serikat dan Nikaragua, mahkamah menetapkan
tindakan-tindakan sementara pada tanggal 10 Mei 1984, agar hak Nikaragua atas
kedaulatan dan kemerdekaan politiknya tidak diancam oleh militer Amerika
Serikat. Kemudian selama berlangsungnya proses tersebut, mahkamah dapat
membentuk angket, melakukan pemeriksaan-pemeriksaan oleh para ahli dan dapat
berkunjung ke tempat sumber sengketa untuk lebih meyakinkan dalam keperluan
pengumpulan bukti.
2.
Penolakan Hadir di Mahkamah
Pasal 53 statuta menyatakan bahwa bila salah satu pihak tidak
muncul di mahkamah atau tidak mempertahankan perkaranya, pihak lain dapat
meminta mahkamah mengambil keputusan mendukung tuntutannya. Ketidakhadiran
salah satu pihak dalam perkara di mahkamah pernah terjadi pada waktu mahkamah
tetap dan juga terdapat dalam sistem mahkamah yang sekarang. Beberapa contoh
ketidakhadiran salah satu pihak di mahkamah yaitu Albania dalam peristiwa Selat
Corfu (keputusan mahkamah 15 Desember 1949), ketidakhadiran Islandia dalam
peristiwa wewenang di bidang penangkapan ikan (keputusan mahkamah 25 Juli
1974), Prancis 20 Desember 1974 dalam peristiwa uji coba nuklir, Turki dalam
peristiwa Landas Kontinen laut Egil 19 Desember1978, Iran dalam peristiwa
personel Diplomatik dan Konsuler Amerika Serikat di Teheran 21 Mei 1980, dan
Amerika Serikat 27 Juni 1986 dalam aktivitas militer kontra Nikaragua.
Negara yang bersengketa kemudian tidak hadir di mahkamah
tidak akan menghalangi organ tersebut untuk mengambil keputusan. Keputusan itu
diambil dengan syarat sesuai dengan pasal 53 ayat 2 statusta, bahwa sebelum
menjatuhkan keputusan kepada pihak yang tidak hadir, mahkamah harus yakin bahwa
ia bukan saja mempunyai wewenang, tetapi juga atas fakta dan hukum. Jadi, pihak
yang dihukum, sekalipun tidak hadir tidak dapat menolak keputusan yang telah
ditetapkan oleh mahkamah.
3.
Keputusan Mahkamah
Keputusan mahkamah diambil dengan suara mayoritas dari
hakim-hakim yang hadir. Bila suara seimbang, maka suara ketua atau wakilnya
yang menentukan. Contohnya keputusan mahkamah pada tanggal 7 September 1027
dalam perkara Lotus antara Prancis dan Turki mengenai tabrakan kapal di laut
lepas dan keputusan mahkamah pada tanggal 18 Juli 1966 mengenai peristiwa
Afrika Barat Daya. Keputusan hanya dapat diambil dengan pemberian suara Ketua
mahkamah. Keputusan mahkamah terdiri tiga bagian, yaitu :
1.
Informasi megenai pihak-pihak yang bersengketa serta
wakil-wakilnya analisa mengenai fakta-fakta, dan argumentasi hukum pihak-pihak
yang bersengketa.
2.
Penjelasan mengenai motivasi mahkamah.
3.
Dipositif yaitu berisikan keputusan mahkamah yang
merugikan negara-negara yang bersengketa.
2.
Penyampaian Pendapat yang Terpisah
Penyampaian pendapat terpisah ialah bila suatu keputusan
tidak mewakili seluruh atau hanya sebagian dari pendapat bulat para hakim, maka
hakim-hakim yang lain berhak memberikan pendapatnya secara terpisah (pasal 57
statuta). Pendapat terpisah ini juga disebut dissenting opinion atinya
pendapat seorang hakim yang tidak menyetujui suatu keputusan dan menyatakan
keberatannya terhadap motif-motif yang diberikan dalam keputusan tersebut.
Jadi, pendapat terpisah adalah pendapat hakim yang tidak setuju dengan
keputusan yang diambil oleh kebanyakan hakim. Keputusan tersebut dapat dianggap
pengutaraan resmi pendapat terpisah, ini akan melemahkan kekuatan keputusan mahkamah,
walaupun dilain pihak akan menyebabkan hakim-hakim mayoritas berhati-hati dalam
memberikan motif keputusan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ayo kasih komentarnya .. biar aku bisa lebih baik ... jangan lupa ,, komentarnya berupa kritikan dan pujian yang membangun ya :)